Luka dan Janji
Oleh: Bu Kanjeng
Angin malam Jakarta di tahun 1970-an berbisik pelan, membawa aroma kota yang tak pernah tidur. Di sebuah rumah sederhana di bilangan Kramat Jati, Ambarwati menghela napas. Tiga pasang mata polos sudah terlelap di ranjang masing-masing. Ia memandangi mereka, satu per satu. Astuti, yang tertua, dengan raut wajah mirip ayahnya. Lalu Astari, si tengah yang selalu ceria. Dan si bungsu, Antoro, yang masih sering memanggil-manggil “Papa” dalam tidurnya.
“Papa pasti pulang, Nak,” bisiknya pada potret keluarga yang mulai usang. Suaminya, seorang dosen yang kini berstatus tahanan politik, entah di mana. Hanya selembar surat dari seorang teman lama yang mengabarkan penahanannya. Dunia Ambarwati runtuh. Tapi, hanya sejenak. Ada tiga nyawa yang bergantung padanya.
Saat termenung sambil merebahkan badannya yang penat Ambarwati menerawang kembali ke tahun-tahun awal.
Solo, Luka dan Janji
Tahun 1955, di sana ada luka dan janji. Ambarwati muda, dengan rambut dikepang dua, berdiri di depan makam orang tuanya. Air mata sudah kering. Hanya ada nyala tekad di matanya. Bayangan Bibinya yang galak, Bude Sulis, menatapnya tajam.
“Sekolah perawat di Semarang, atau jadi babu seumur hidup!” hardik Bude Sulis.
Ambarwati tak menjawab. Ia tahu ini bukan pilihan, tapi perintah. Di Semarang, di bawah asuhan Bude Sulis yang tak pernah segan melontarkan omelan, Ambarwati belajar segalanya. Bukan hanya cara merawat luka fisik, tapi juga luka batin.
Suatu sore, di koridor rumah sakit, ia berpapasan dengan seorang dokter muda. Cahyo. Senyumnya menawan, bicaranya lembut. Cinta pertama yang manis, namun berujung pahit.
“Aku ingin melamarmu, Ambar,” kata Cahyo suatu senja, di bawah pohon beringin tua.
Jantung Ambarwati berdebar. “Benarkah?”
“Tentu saja. Tunggu aku, ya.”
Namun, penantian Ambarwati berakhir dengan berita perjodohan Cahyo dengan putri seorang juragan batik kaya raya. Hatinya hancur berkeping-keping.
“Bodoh kamu, Ambar!” bentak Bude Sulis, saat melihatnya menangis. “Laki-laki itu sampah! Menangislah sekarang, habis itu bangkit! Jangan biarkan orang menginjak-injak harga dirimu!”
Kata-kata Bude Sulis, yang seringkali pedas, kali ini terasa seperti cambuk yang membangunkan. Ambarwati menyeka air matanya. Ketegasan itu mulai terbentuk. Ia menerima pinangan seorang guru dari Jakarta, pilihan yang ia ambil bukan karena cinta, melainkan karena keterpaksaan dan keinginan untuk memulai hidup baru.
Jakarta, Ujian dan Komitmen
Tahun1965an Ambarwati hijrah ke Jakarta. Kehidupan di Jakarta jauh lebih menjanjikan. Ambarwati dikenal sebagai perawat yang cekatan, pemberani dan punya empati tinggi. Ia tidak segan menegur dokter jika ada yang salah, namun juga bisa menenangkan pasien dengan sentuhan lembut.
“Suster Ambar, pasien kamar tiga puluh delapan meracau lagi!” seru seorang perawat junior panik.
Ambarwati bergegas masuk. Seorang bapak tua dengan demam tinggi tampak gelisah.
“Tenang, Bapak. Jangan khawatir. Saya di sini. Tarik napas pelan-pelan,” Ambarwati meraih tangan keriput itu, menggenggamnya erat.
“Nanti Bapak sembuh. Bapak pasti bisa melewati ini.”
Pasien itu menatapnya, lalu perlahan tenang. Itulah welas asih Ambarwati, yang tak hanya mengobati fisik, tapi juga jiwa.
Kehidupan rumah tangganya juga relatif tenang. Suaminya, Bagas, adalah pria yang sabar, walau seringkali melemparkan canda tawa.mMereka dianugerahi tiga anak yang cerdas dan lincah. Hingga suatu malam, Bagas pulang dengan wajah pucat.
“Ada apa, Mas?” tanya Ambarwati cemas.
Bagas hanya menatapnya nanar. “Aku… aku harus pergi, Ambar. Ada masalah.”
“Masalah apa? Kenapa mendadak sekali?”
“Ini masalah politik. Aku... aku harus nenyerahkan diri. Ambar.” Suara Bagas hampir tak terdengar.
Ambarwati merasa dunia berputar. Ia mencengkeram lengan suaminya. “Maksudmu kau akan ditahan? Lalu bagaimana dengan kita? Dengan anak-anak?”
Bagas memejamkan mata. “Maafkan aku, Ambar. Aku tidak tahu sampai kapan. Jaga anak-anak, ya.”
Itulah percakapan terakhir mereka yang nyata. Setelah itu, hanya selembar surat kabar, dan bisik-bisik tetangga.
Nyala Asa yang Tak Padam
Pulang kerja, Ambarwati sering mendapati Astuti, Astari, atau Antoro menunggunya di depan pintu.
“Mama, kapan Papa pulang?” tanya Antoro suatu sore, dengan mata berkaca-kaca.
Ambarwati berlutut, memeluk si bungsu erat. “Papa… Papa sedang bekerja jauh, Nak. Tapi Papa sayang sekali sama Antoro, sama Kak Astuti, sama Kak Astari.” Ia menelan ludah, menahan gejolak di dada. “Mama akan selalu ada untuk kalian, ya. Kita harus kuat.”
Ketegasan Ambarwati terlihat jelas dalam cara ia mengatur hidup. Setiap sen gaji perawatnya diatur sedemikian rupa. Ia bekerja keras, mengambil shift tambahan, demi memastikan anak-anaknya tidak kekurangan.
“Astuti, kenapa nilai matematikamu turun?” tanyanya suatu malam, saat memeriksa buku pelajaran Astuti.
Astuti menunduk. “Susah, Ma.”
“Susah bukan berarti tidak bisa. Mama tahu kamu pintar. Ayo, Mama bantu. Kita belajar sampai kamu paham.”
Ia seringkali lelah, tubuhnya pegal, matanya perih karena kurang tidur. Namun, melihat wajah anak-anaknya yang ingin belajar, semangatnya kembali membara.
“Mama capek?” tanya Astari, menyodorkan segelas air putih.
Ambarwati tersenyum tipis. “Tidak, Sayang. Mama tidak capek kalau melihat kalian rajin belajar. Kalian harus jadi orang pintar, ya. Biar tidak ada yang merendahkan.”
Ambarwati teringat begitu banyak rintangan dan kesedihan yang dihadapi. Berstatus tanpa suami sering kali dilecehkan. Dianggap murahan, dan haus kasih sayang. Sedih berganti datang dari mulai pria yang serius meminangnya sampai pada pria iseng atau sebagai penggoda belaka. Prinsipnya yang kuat dan keteguhan imannya mampu melewati masa tidak mengenakkan itu.
Urusan rezeki dan biaya sekolah anaknya pun ditanggung sendiri. Saat suaminya menghilang, tak satu pun keluarga suaminya yang mendekat. Selain menjadi perawat, Ambarwati merintis bisnis kecil- kecilan. Ada kain batik, daster, sprei dan juga kemeja batik yang dibeli di Solo, dijual kembali Jakarta. Pembelinya, selain kerabat dan tetangganya, ada juga teman di rumah sakit dan di komunitas pengajian.
Otak dan pikiran Ambarwati terus berputar. Bagaimana agar kebutuhan keluarganya cukup. Membiayai anak- anaknya kuliah agar sukses dunia akhirat. "Nasibku kurang beruntung, tetapi aku harus selalu bersyukur."
Waktu bergulir. Astuti diterima di fakultas Keguruan, Astari di Fakultas kedokteran, dan Antoro di fakultas Pertanian. Setiap surat penerimaan itu datang, Ambarwati tak henti-hentinya bersyukur. Ia mendatangi makam orang tuanya di Solo, lalu mengunjungi Bude Sulis yang sudah renta.
“Bude anak-anak Ambar sudah jadi sarjana semua,” katanya sambil menggenggam tangan keriput Bude Sulis.
Bude Sulis tersenyum tipis. “Bagus. Itu baru Ambarwati yang Bude kenal. Kuat. Tidak cengeng, mandiri dan bisa menghadapi badai kehidupan yang kejam.”
Ambarwati hanya tersenyum. Air matanya menetes, kali ini air mata syukur dan haru.
Ketiga anaknya sudah berkeluarga. Astuti sangat perhatian kepadanya. Siap melayani dan mendengar curahan hatinya. Astari yang diberi rezeki melimpah oleh Allah dimudahkan dan dimampukan membiayai ibadah haji Ambarwati dan Astuti kakaknya. Sementara Antoro selalu ada ketika sang ibu minta diantar ke dokter, silahturahmi atau pun kegiatan sosial yang diikuti Ambarwati.
Di penghujung hidupnya, Ambarwati tak pernah berhenti tersenyum. Ia telah membuktikan, bahwa dari sebuah luka yang dalam, dapat lahir kekuatan yang luar biasa. Bahwa seorang perempuan yatim piatu yang pernah terkhianati, yang ditinggalkan sendirian di tengah badai politik, mampu mengentaskan ketiga anaknya menjadi sarjana. Ia adalah Ambarwati, nyala abadi yang tak pernah padam, simbol keteguhan, keberanian, ketegasan, dan welas asih seorang ibu.
Kisah ini tak hanya tentang bagaimana ia berhasil, tapi juga tentang mengapa ia tak pernah menyerah. Ia adalah bukti bahwa cinta seorang ibu, setegar apapun badai menerpa, selalu menemukan jalannya untuk menerangi masa depan anak-anaknya.
Soloraya, 30 Juni 2025
Posting Komentar