Selamat datang di cahayabundaastuti.com

Menguak Tabir Kesombongan dalam Ilmu

Rabu, 23 Juli 20250 komentar

 Menguak Tabir Kesombongan dalam Ilmu
Dalam setiap langkah pencarian ilmu, seringkali kita terjebak dalam ilusi kepintaran. Kita merasa telah menguasai segalanya, padahal di atas setiap orang yang berpengetahuan, ada Yang Maha Mengetahui. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Q.S. Yusuf: 76, "...Dan di atas setiap orang yang berpengetahuan, ada yang Maha Mengetahui." Imam Hasan Al-Bashri, menafsirkan ayat ini dengan indah: "Tiadalah orang alim, kecuali di atasnya ada orang alim lainnya, hingga ilmu itu terhenti kepada Allah Swt." Ayat ini adalah pengingat bahwa ilmu itu laksana samudra tak bertepi, dan kita hanyalah setetes air di dalamnya. Kesadaran ini semestinya menuntun kita pada kerendahan hati yang hakiki, bukan pada kesombongan yang menjebak.

Perasaan "keminter" atau sok pintar adalah cerminan dari kesombongan yang menutupi kekurangan diri. Individu yang terperangkap dalam sikap ini cenderung menyembunyikan ketidaktahuan mereka dengan pura-pura tahu, menciptakan ilusi kepintaran di mata orang lain. Namun, seperti kata pepatah, "emas tak akan tertukar dengan loyang." Pada akhirnya, keaslian akan selalu terpancar, dan kepalsuan akan tersingkap. Kita bisa melihat ini dalam kasus di mana seseorang, katakanlah seorang manajer baru, terlalu cepat mengambil keputusan tanpa mendengarkan masukan dari timnya yang lebih berpengalaman. Ia mungkin merasa perlu menunjukkan dominasinya, padahal justru menunjukkan kurangnya kebijaksanaan dan kemauan untuk belajar.

Sikap mengagumi diri sendiri (i’jab al-mar’i bi nafsihi), yang seringkali lahir dari perasaan superior, adalah salah satu dari tiga hal yang merusak diri (muhlikat). Rasulullah Saw. bersabda dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani, "Tiga perkara yang membinasakan: kekikiran yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan kekaguman seseorang pada dirinya sendiri." Hadis ini menegaskan betapa berbahayanya ketika kita membiarkan diri terbuai oleh pencapaian, status sosial, ilmu, harta, bahkan nasab. Memandang rendah orang lain karena merasa lebih unggul adalah cerminan ketidakmampuan untuk melihat hikmah di balik setiap ciptaan Allah.

Ciri paling kentara dari orang yang merasa pintar adalah keengganannya untuk menerima masukan. Mereka cenderung menolak pendapat, saran, petuah, apalagi kritik dari orang lain. Sebaliknya, mereka menuntut agar orang lain menerima pandangan mereka sepenuhnya. Individu semacam ini memposisikan diri mereka sebagai superior, menempatkan orang lain di posisi yang inferior. Kita kerap menjumpai fenomena ini dalam lingkungan akademis, di mana seorang profesor yang merasa sangat berilmu enggan mendengarkan ide-ide segar dari mahasiswanya, padahal inovasi seringkali lahir dari sudut pandang yang berbeda.

Sebaliknya, orang yang benar-benar pintar adalah mereka yang "pintar merasa." Mereka memahami bahwa ilmu adalah amanah, dan kerendahan hati adalah mahkotanya. Mereka tidak akan pernah merasa pintar, justru berusaha menutupi dan tidak menampakkan kepintaran mereka. Dalam ajaran agama, sikap ini disebut tawaduk. Seorang ulama besar, misalnya, meski memiliki hafalan ribuan Hadis dan menguasai berbagai disiplin ilmu, akan tetap bersikap rendah hati, duduk bersama masyarakat biasa, dan mendengarkan keluh kesah mereka tanpa merasa dirinya lebih tinggi.
"Pintar merasa" jauh melampaui sekadar kerendahan hati. Ia berarti memiliki kepekaan, kepedulian, dan empati yang tinggi terhadap lingkungan sekitar. Kualitas ini menunjukkan kedalaman karakter seseorang yang sesungguhnya.

Seorang dokter, misalnya, yang "pintar merasa" tidak hanya mengobati penyakit fisik pasiennya, tetapi juga merasakan penderitaan mereka, mendengarkan kekhawatiran mereka, dan memberikan dukungan emosional. Inilah yang membedakan seorang profesional yang kompeten dengan seorang manusia yang berempati.
Orang yang pintar merasa, meskipun ilmunya setinggi langit, akan tetap membumi. Kekayaan harta melimpah ruah tidak akan membuatnya sombong, melainkan mendorongnya untuk bersikap ramah dan berbagi. Jabatan tinggi dan status sosial terhormat tidak akan menjadikannya gila hormat, melainkan menguatkan komitmennya untuk melayani. Bahkan jika ia berasal dari keluarga terhormat, ia tidak akan pernah merasa lebih baik dari orang lain, sebab ia memahami bahwa kemuliaan sejati terletak pada ketakwaan, bukan nasab.

Ia tidak pernah menganggap dirinya lebih dari orang lain, meskipun berbagai prestasi dan karya luar biasa telah ia raih. Semua pencapaian itu ia anggap semata-mata karena izin Allah Swt. atas ikhtiar yang ia lakukan. Ia tetap merasa sebagai hamba yang penuh kekurangan dan kelemahan. Contohnya adalah seorang seniman yang karyanya diakui dunia. Ia tidak lantas jumawa, melainkan terus berkarya dengan rendah hati, menyadari bahwa bakatnya adalah anugerah dan kesuksesannya adalah takdir Ilahi yang harus disyukuri.

Maka, inti dari pencarian ilmu bukanlah sekadar menumpuk informasi, melainkan menemukan kebijaksanaan yang membimbing kita pada kerendahan hati. Kesombongan dalam ilmu adalah jebakan yang akan menutup pintu hikmah dan menghalangi kita untuk terus belajar. Sebaliknya, sikap rendah hati dan kemampuan "pintar merasa" adalah kunci untuk membuka cakrawala pemahaman yang lebih luas, menjadikan kita insan yang bukan hanya cerdas, tetapi juga bermanfaat dan berempati.

Semoga kita semua dapat terhindar dari sikap merasa pintar yang menjebak. Biarlah setiap ilmu yang kita peroleh membawa kita semakin dekat pada kesadaran bahwa segala kepintaran dan pencapaian hanyalah titipan dari-Nya. Dengan begitu, kita akan senantiasa menjadi pribadi yang rendah hati, peka, dan selalu ingin belajar, menjadikan diri kita pantas menyandang gelar sebagai hamba yang bersyukur dan bermanfaat bagi sesama.

Medio, Juli 2025

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Cahaya Bunda Astuti | Creating Website | Ali Hasyim | Mas Alizacky | Pusat Promosi
Copyright © 2016. Cahaya Bunda Astuti - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modify by Cahayabundaastuti.com
Proudly powered by Blogger