Akhlak Mulia Sebagai Kunci Dakwah yang Menembus Jiwa
Di tengah gemuruh informasi dan beragamnya suara, dakwah sering kali diidentikkan dengan pidato yang memukau atau argumen yang tajam. Namun, ada satu kekuatan yang melampaui retorika dan logika, yang mampu menembus sekat-sekat hati dan mengubah pandangan tanpa banyak kata: akhlak mulia. Ia adalah bahasa universal yang dipahami semua orang, bahkan oleh mereka yang belum mengenal Islam sekalipun. Ketika keindahan ajaran dihidupkan dalam perilaku sehari-hari, saat itulah dakwah mencapai puncaknya, menjadi magnet yang menarik jiwa-jiwa pada kebenaran, membuktikan bahwa Islam itu indah bukan hanya dalam teori, tetapi juga dalam praktik nyata.
Dalam upaya menyebarkan kebaikan dan kebenaran, kita seringkali terpaku pada kekuatan lisan. Ceramah, nasihat, dan diskusi menjadi sarana utama. Namun, ada kalanya, dakwah dengan sikap dan perbuatan jauh lebih mengena, lebih berbekas, dan bahkan lebih efektif daripada dakwah dengan seribu untaian kata. Sebagaimana ungkapan bijak yang sering kita dengar: "Satu contoh akhlak dan adab yang baik bisa mengalahkan 1000 majelis ilmu tentang akhlak." Ini bukan berarti menafikan pentingnya ilmu dan lisan, melainkan menempatkan prioritas pada kekuatan teladan dalam menyampaikan pesan kebaikan.
Betapa sering kita menyaksikan bahwa kata-kata indah yang keluar dari lisan seorang dai bisa sirna begitu saja jika tidak selaras dengan perilakunya. Sebaliknya, satu keteladanan nyata, satu perbuatan baik yang ikhlas, mampu menembus hati yang paling keras sekalipun. Dakwah dengan sikap bisa menjadi cara paling tepat dan paling jitu untuk menyentuh jiwa, membangun kepercayaan, dan membuka pintu hidayah. Ini adalah metode yang telah dipraktikkan oleh para nabi, rasul, dan orang-orang saleh sepanjang sejarah, menunjukkan bahwa keindahan Islam terpancar jelas dari adab dan akhlak pemeluknya.
Nasihat ini sangat relevan dalam konteks kehidupan modern. Ambil contoh seorang anak muda yang baru mengenal dakwah Ahlus Sunnah dan mulai berusaha menerapkan sunnah, misalnya dengan memelihara jenggot bagi laki-laki atau memakai hijab syar'i bagi perempuan. Ini adalah perubahan fisik yang terlihat. Namun, dakwah yang bijak dan penuh hikmah adalah jika ia mampu menunjukkan perubahan sikap, akhlak, dan semangat yang jauh lebih baik setelah mengenal ajaran tersebut. Jika ia menjadi pribadi yang lebih baik dalam segala aspek, maka perubahan fisik itu akan berbicara dengan sendirinya.
Perubahan ini harus tampak nyata dalam keseharian. Ia menjadi lebih berbakti kepada orang tua, senantiasa siap memenuhi panggilan mereka dengan sigap dan penuh hormat. Ia menjadi lebih semangat dan rajin dalam belajar, karena ajaran Islam senantiasa menekankan pentingnya ilmu pengetahuan. Adab dan akhlaknya kepada orang tua dan seluruh anggota keluarga pun membaik; tutur katanya lebih santun, tindakannya lebih penuh kasih sayang. Semua ini adalah bukti konkret bahwa ajaran yang ia anut membawa dampak positif pada dirinya.
Tidak hanya itu, ia juga akan semakin rajin beribadah: shalat tepat waktu, tekun mengaji, berusaha menghafal Al-Qur'an, serta rajin mendoakan kedua orang tua. Ia bahkan secara perlahan dan bijak mengingatkan mereka tentang akhirat, dengan cara yang lembut dan tidak menggurui. Sambil menunjukkan perubahan positif ini, ia berusaha menasihati dan berdakwah kepada keluarga terdekat—orang tua, kakek, paman, bibi, dan adik-adiknya—dengan cara yang terbaik, penuh kasih sayang, dan pengertian. Inilah dakwah bil hal (dengan perbuatan) yang selaras dengan dakwah bil lisan (dengan ucapan).
Prinsip dakwah dengan sikap ini juga berlaku dalam lingkungan profesional, seperti di kantor. Seorang Muslim yang dikenal karena kejujurannya, ketekunannya, amanahnya, dan kemampuannya bekerja sama, akan jauh lebih efektif dalam menyampaikan nilai-nilai Islam dibandingkan dengan yang hanya pandai berbicara namun minim teladan. Saat rekan kerjanya melihat integritas, profesionalisme, dan sikap positifnya, tanpa disadari, mereka sedang menerima pesan dakwah yang kuat dan inspiratif tentang keindahan Islam. Allah SWT berfirman dalam Surah Fusshilat ayat 33: "Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?" Ayat ini menekankan pentingnya keselarasan antara perkataan dan perbuatan.
Sejarah Islam pun menjadi saksi bisu akan kekuatan dakwah akhlak. Para ulama di zaman dahulu, seperti yang diceritakan dalam banyak riwayat, lebih diterima dan lebih berkah dakwahnya justru karena kemuliaan akhlak mereka. Mereka tidak hanya menguasai ilmu, tetapi juga mengamalkan ilmunya, sehingga hidup mereka menjadi cerminan ajaran Islam yang indah. Hal ini selaras dengan Hadis Nabi ﷺ: "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia." (HR. Ahmad). Fokus utama risalah kenabian adalah perbaikan akhlak.
Kisah Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah adalah teladan nyata. Abu Bakar bin Al-Muthawwi’i, seorang murid beliau, menuturkan: “Aku berkali-kali mendatangi Abu Abdillah – yaitu Imam Ahmad bin Hambal rahimahullahu – selama 12 tahun, beliau sedang membacakan kitab Al-Musnad kepada anak-anaknya. Saya tidaklah menulis satu hadits pun darinya tetapi HANYA ingin melihat kepada metode dan akhlaknya.” (Siyaru A’lamin Nubala’). Ini adalah bukti bahwa akhlak seorang ulama dapat menjadi magnet yang lebih kuat daripada sekadar transmisi ilmu. Metode dan akhlak beliau adalah sumber inspirasi yang tak lekang oleh waktu.
Oleh karena itu, marilah kita senantiasa memprioritaskan perbaikan akhlak dan adab dalam setiap aspek kehidupan. Jadikan setiap tindakan kita sebagai cerminan ajaran Islam yang luhur. Sebab, ketika akhlak kita mulia, hati kita bersih, dan perbuatan kita selaras dengan nilai-nilai agama, saat itulah dakwah kita akan mencapai puncaknya, meresap ke dalam jiwa-jiwa tanpa perlu banyak kata. Inilah dakwah yang paling efektif, yang paling jujur, dan yang paling berbekas. Sudahkah kita menjadikan akhlak sebagai juru bicara utama Islam dalam hidup kita?
Medio, Juli 2025
Posting Komentar