Menyingkap Tabir Penghalang Amal Saleh
Pernahkah terlintas di benak kita sebuah ironi yang begitu nyata dalam hidup? Kita, sebagai hamba Allah, seringkali mengetahui dengan jelas betapa agungnya pahala dari sebuah amal kebaikan. Ilmu tentang keutamaan shalat rawatib 12 rakaat sehari semalam, puasa sunnah Senin Kamis, atau bahkan shalat tahajud yang membuka pintu langit, telah sampai di telinga kita. Namun, mengapa seringkali pengetahuan itu hanya berhenti di batas telinga, tak mampu menggerakkan raga untuk melaksanakannya? Sebuah pertanyaan besar yang menggantung, menuntut refleksi mendalam dari setiap jiwa.
Ambil contoh shalat rawatib, ibadah sunnah yang mengiringi shalat fardhu. Rasulullah ﷺ bersabda, "Barangsiapa shalat dua belas rakaat dalam sehari semalam, akan dibangunkan baginya rumah di surga." (HR. Muslim). Sebuah janji yang luar biasa, namun berapa banyak dari kita yang masih merasa enggan, seolah beban itu lebih berat dari kenikmatan surga yang dijanjikan? Sama halnya dengan puasa Senin dan Kamis, amalan yang dicintai Nabi ﷺ dan menjadi sebab diangkatnya amal. Kita tahu keutamaannya, tapi godaan untuk menikmati hidangan lezat atau sekadar rasa malas seringkali mengalahkan niat suci itu.
Malam hari, saat dunia terlelap, ada keutamaan shalat tahajud yang begitu menenangkan jiwa. Allah ﷻ berfirman dalam Surah Al-Isra' ayat 79: "Dan pada sebagian malam hari shalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji." Sebuah panggilan untuk bermunajat di sepertiga malam terakhir, namun bantal dan selimut seringkali terasa lebih memikat, mengalahkan keinginan untuk bersimpuh di hadapan-Nya.
Pun demikian dengan menuntut ilmu agama. Rasulullah ﷺ bersabda, "Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim." (HR. Ibnu Majah). Ilmu adalah cahaya yang membimbing kita, membedakan yang hak dan batil. Namun, majelis ilmu yang seharusnya menjadi oase bagi jiwa, seringkali terasa jauh dan berat untuk didatangi. Kita lebih memilih menghabiskan waktu dengan hal-hal yang fana, daripada mengisi bejana hati dengan ilmu yang kekal.
Ada pula keutamaan shalat Subuh berjamaah di masjid, lalu berdiam diri berzikir hingga waktu syuruq, yang pahalanya disamakan dengan haji dan umrah sempurna, sempurna, sempurna. Sebuah "paket" pahala yang luar biasa, seolah Allah sedang memberikan diskon besar-besaran untuk meraih surga. Namun, berapa banyak dari kita yang melewatkan kesempatan emas ini, lebih memilih melanjutkan tidur yang sebentar, daripada meraih pahala yang tak terhingga? Kasus ini sering terjadi pada banyak muslim yang merasa berat bangun pagi, padahal mereka tahu betul keutamaannya.
Puncak dari pengetahuan kita adalah bahwa kenikmatan hidup di akhirat kelak sangat bergantung pada amal saleh yang kita lakukan di dunia ini.
Al-Qur'an berulang kali menceritakan kisah orang-orang yang menyesal di hari kiamat, memohon kepada Allah untuk dihidupkan kembali barang sebentar saja agar bisa melakukan amal saleh yang dahulu mereka sia-siakan. Sebagaimana firman Allah ﷻ dalam Surah Al-Mu'minun ayat 99-100: "(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seorang dari mereka, dia berkata, 'Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan.' Sekali-kali tidak! Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada barzakh sampai hari mereka dibangkitkan." Namun, mengapa kita seolah tak mengambil ibrah dari peringatan-peringatan ilahi ini?
MENGAPA? Inilah pertanyaan krusialnya. Jawabannya terletak pada satu poin penting: karena walau kita ingin melakukan, ternyata banyak penghalang yang menghambat kita melakukan amal saleh. Penghalang ini bukan selalu berupa tembok besar atau rintangan fisik yang kasat mata. Seringkali, ia adalah bisikan halus, godaan yang tak terlihat, atau bahkan jebakan dari diri kita sendiri. Kemalasan, penundaan (taswif), dan kurangnya tekad yang kuat adalah musuh utama dari dalam diri. Rasulullah ﷺ pernah berlindung dari kemalasan, sebagaimana dalam doanya: "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, sifat pengecut, dan kekikiran." (HR. Bukhari). Ini menunjukkan bahwa kemalasan adalah musuh yang nyata.
Selain itu, ada pula penghalang eksternal. Lingkungan yang kurang mendukung, kesibukan dunia yang melenakan, atau bahkan kecanduan pada kenyamanan dan hiburan yang tak berujung. Contoh nyata adalah seseorang yang sibuk dengan pekerjaan hingga larut malam, sehingga sulit baginya untuk bangun tahajud atau shalat Subuh berjamaah. Atau, seorang remaja yang lebih memilih menghabiskan waktu berjam-jam di media sosial daripada menghadiri kajian agama. Distraksi-distraksi ini, meskipun terlihat sepele, secara perlahan mengikis semangat kita untuk beramal saleh.
Maka, setelah menyadari penghalang-penghalang ini, langkah selanjutnya adalah berjuang melawannya. Bukan hanya dengan niat, tapi dengan tindakan nyata dan memohon pertolongan Allah ﷻ. Mari kita mulai dari hal kecil, konsisten, dan terus memohon kekuatan dari-Nya. Ingatlah bahwa setiap perjuangan untuk mendekat kepada Allah adalah sebuah investasi tak ternilai untuk kehidupan abadi kita.
Semoga Allah senantiasa membimbing kita untuk menyingkirkan setiap penghalang, agar amal saleh menjadi ringan dan kenikmatan beribadah senantiasa menyertai langkah kita.
Posting Komentar