Selamat datang di cahayabundaastuti.com

Menepis Jejak Kesombongan

Rabu, 23 Juli 20250 komentar

 Menepis Jejak Kesombongan
Pernahkah terlintas di benak kita, setelah memberi sesuatu, ada sedikit rasa bangga yang menyelinap? Rasa bahwa kita lebih baik, lebih mulia, karena telah menjadi sang pemberi kebaikan. Perasaan ini, seringkali tak disadari, bisa tumbuh menjadi tuntutan tak tertulis agar si penerima membalas budi, setidaknya dengan ucapan terima kasih yang tulus. Bukankah kita sering merasa ganjil, bahkan sedikit kecewa, jika kebaikan kita seolah tak dianggap? Pertanyaan besarnya, apakah kita benar-benar lebih baik dari mereka yang kita beri?

Di sinilah letak jurang pemisah antara kebaikan yang tulus dan kebaikan yang berbalut pamrih. Siapa yang bisa menjamin bahwa seorang pemberi lebih mulia dari penerima? Bisa jadi, sang pemberi belum sepenuhnya ikhlas, masih mengharapkan pujian atau pengakuan manusia. Sebaliknya, sang penerima mungkin adalah sosok yang sangat menjaga harga dirinya, yang terpaksa menerima karena kondisi mendesak, dan bukanlah tipe orang yang gemar meminta-minta. Bukankah perasaan "lebih baik" ini adalah ujub, bibit kesombongan yang bisa menghanguskan pahala amal kita?

Allah Subhanahu wa Ta'ala sangat membenci kesombongan. Dalam Surah Luqman ayat 18, Allah berfirman: "Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri." Ayat ini jelas menunjukkan bahwa kesombongan, termasuk perasaan ujub yang membuat kita merasa lebih baik, adalah sifat tercela yang tidak disukai oleh Allah. Rasulullah ﷺ juga bersabda dalam sebuah hadis riwayat Muslim, "Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan seberat biji sawi." Ini adalah peringatan keras bagi kita untuk senantiasa mengikis setiap benih kesombongan dalam hati.

Maka, jalan terbaik untuk melatih hati adalah dengan terus memberi dan berbagi, bukan untuk merasa lebih baik, melainkan untuk melatih kerendahan hati dan keikhlasan. Ketika kita bersedih atau marah saat dikritik, tidak mau dicacat dan disalahkan, ini adalah lampu merah. Begitu pula, ketika semangat kita membara hanya saat dipuji dan usaha bertambah giat karena sanjungan, itu tandanya kita telah mengidap penyakit berbahaya bernama riya'. Riya' adalah tabiat suka pamer, ingin dilihat dan diperhatikan manusia, yang berpotensi membatalkan pahala amal kebaikan kita.
Penyakit riya' ini sangat halus dan beragam bentuknya, seringkali tak terdeteksi oleh mata telanjang. 

Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhu pernah menjelaskan, "Tandingan adalah kesyirikan. Lebih lembut dari langkah semut hitam yang berjalan di atas batu hitam dalam gelapnya malam." (Tafsir Ibnu Katsir surat Al-Baqarah:22). Halusnya riya' ini bagaikan langkah semut di atas batu hitam di malam gelap, sangat sulit dikenali. Ia bisa muncul ketika kita sibuk mencari alasan saat tidak tampak dalam kegiatan bersama, merasa khawatir keberadaan kita diragukan, atau bahkan cemas jika kehadiran kita dianggap tidak ada. Intinya, bagaimana agar kita tetap menjadi sosok yang dianggap penting. Ini adalah bibit riya' yang perlu segera dimusnahkan.

Sangat berat memang menjaga keikhlasan dan menghilangkan riya' serta keinginan untuk dipuji. Bahkan, Nabiyullah Ibrahim alaihissalam, kekasih Allah, ayah para nabi, dan imam ahli tauhid, sangat takut terhadap kesyirikan ini. Beliau berdoa dalam Surah Ibrahim ayat 35: "Ya Rabbku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala." Ibrahim At-Taimiy rahimahullah, seorang ulama tabi’in, bahkan bertanya-tanya, "Lalu siapakah yang merasa aman dari bencana ini (kesyirikan), padahal Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tidak merasa aman darinya?" Hal ini menunjukkan betapa seriusnya bahaya riya' dan kesyirikan yang samar ini.

Pada akhirnya, hanya rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang bisa kita harapkan dalam kesungguhan kita menuntut ilmu dan mengenali berbagai bentuk riya'. Mari kita terus berusaha membersihkan hati dari ujub dan riya', agar setiap amal kebaikan yang kita lakukan benar-benar tulus hanya karena Allah, dan semoga dengannya kita meraih pahala yang abadi.

Mari kita bersama-sama merenungkan, pernahkah kita secara tak sadar "memproyeksikan" diri sebagai pahlawan dalam sebuah situasi? Atau mungkin, secara halus, kita membandingkan diri dengan orang lain setelah melakukan suatu kebaikan?

Medio, Juli 2025

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Cahaya Bunda Astuti | Creating Website | Ali Hasyim | Mas Alizacky | Pusat Promosi
Copyright © 2016. Cahaya Bunda Astuti - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modify by Cahayabundaastuti.com
Proudly powered by Blogger