Siapa Kita Saat Sendiri?
Di tengah sorotan publik, kita seringkali mampu menampilkan sosok terbaik: santun, saleh, dan penuh integritas. Kita berlomba-lomba menunjukkan kebaikan, meraih pujian, dan menjaga citra diri. Namun, pernahkah kita berhenti sejenak dan merenungkan: siapakah kita sebenarnya di balik tirai kesendirian? Saat tidak ada mata yang mengawasi, tidak ada telinga yang mendengar, dan hanya ada kita dengan hati dan nafsu, di situlah ujian sejati keimanan kita dimulai. Momen-momen sepi ini, justru menjadi penentu apakah nilai-nilai yang kita tunjukkan di hadapan orang lain adalah cerminan jati diri yang hakiki, atau sekadar topeng yang akan runtuh ketika tak ada yang melihat.
Kita seringkali disuguhkan pemandangan yang menipu: seseorang yang di mata publik tampil begitu saleh, alim, atau baik. Bicaranya lembut, perilakunya sopan, ibadahnya rajin. Mereka tampak menjadi teladan bagi banyak orang, figur yang dihormati dan disegani. Namun, siapakah kita di balik tirai kesendirian? Saat mata manusia tak lagi mengawasi, saat gelap malam menyelimuti, atau saat gawai di tangan menjadi jendela rahasia, apakah jati diri kita tetap sama, ataukah justru berbalik 180 derajat, melanggar batas-batas yang telah Allah tetapkan?
Fenomena ini bukanlah hal baru. Contohnya bisa kita lihat di sekitar kita, atau bahkan mungkin dalam diri kita sendiri. Seseorang yang di depan umum menjaga pandangan, namun ketika sendiri, ia dengan leluasa melihat hal-hal yang haram atau dilarang. Mungkin saja ia asyik menelusuri foto-foto yang mengumbar aurat, menonton konten pornografi yang merusak jiwa, atau bahkan melakukan perbuatan maksiat yang lebih keji seperti perzinahan, seolah-olah tak ada yang melihat dan tak ada yang mencatat. Realitas pahit ini adalah cerminan dari bahaya besar yang mengintai keimanan kita.
Kondisi semacam ini, di mana seseorang bermuka dua antara di hadapan publik dan di kala sendiri, telah jauh-jauh hari disinggung dan diperingatkan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Sebagai umatnya, kita wajib berhati-hati dan menjauhi perilaku demikian. Mengapa? Karena ini bukan sekadar pelanggaran biasa, melainkan pintu gerbang menuju kerugian yang sangat besar di dunia ini, dan lebih mengerikan lagi, di akhirat kelak. Kerugian yang bisa menghapus segala jerih payah kebaikan yang telah kita kumpulkan.
Sebuah peringatan keras datang dari Hadis yang diriwayatkan oleh Tsauban, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: "Sungguh aku mengetahui suatu kaum dari umatku datang pada hari kiamat dengan banyak kebaikan semisal Gunung Tihamah. Namun Allah menjadikan kebaikan tersebut menjadi debu yang bertebaran." Bayangkan, amal saleh sebanyak gunung, lenyap tak bersisa! Ketika Tsauban bertanya sifat-sifat mereka agar kita tidak terjerumus, Rasulullah ﷺ menjelaskan, "Adapun mereka adalah saudara kalian. Kulit mereka sama dengan kulit kalian. Mereka menghidupkan malam (dengan ibadah) seperti kalian. Akan tetapi mereka adalah kaum yang jika bersepian mereka merobek tirai untuk bisa bermaksiat pada Allah." (HR. Ibnu Majah no. 4245, disahihkan oleh Al-Albani). Hadis ini menampar kesadaran kita tentang betapa rapuhnya amal jika tak diiringi dengan ketaatan di kala sendiri.
Makna Hadis tersebut selaras dengan firman Allah dalam Al-Qur'an Surah An-Nisa' ayat 108: "Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan." Ayat ini secara gamblang menegaskan bahwa meskipun kita bisa menyembunyikan diri dari pandangan manusia, kita tidak akan pernah bisa bersembunyi dari pengawasan Allah Yang Maha Mengetahui. Dia selalu bersama kita, melihat setiap niat dan tindakan, bahkan yang tersembunyi di lubuk hati terdalam.
Sungguh betapa meruginya kita. Kita telah bersusah payah mengumpulkan amal saleh: menegakkan salat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, khusyuk membaca Al-Qur'an, mengeluarkan sedekah, berkorban hewan qurban, bahkan menunaikan ibadah haji. Semua itu adalah investasi besar untuk akhirat. Namun, semua pahala itu bisa lenyap dan menjadi debu hanya karena sebuah maksiat yang kita kerjakan secara sembunyi-sembunyi, saat kita merasa aman dari pandangan manusia, tetapi lupa akan pengawasan Ilahi. Ini seperti membangun istana megah dengan susah payah, lalu merobohkannya sendiri dengan tangan kita.
Kisah nyata seringkali menjadi pengingat. Kita mungkin mengenal figur publik yang dielu-elukan karena kebaikan dan ketakwaannya, namun kemudian terungkap skandal maksiat yang mereka lakukan secara diam-diam. Publik terkejut, kepercayaan hancur, dan nama baik yang dibangun bertahun-tahun lenyap dalam sekejap. Ini adalah konsekuensi duniawi, belum lagi hisab di akhirat. Begitu pula dengan individu biasa; seseorang mungkin dikenal sangat dermawan, tetapi di balik itu ia terlibat riba atau penipuan yang tidak diketahui orang. Allah Maha Melihat, dan kebenaran akan tersingkap pada waktunya.
Oleh karena itu, setiap muslim wajib berusaha keras menjauhi segala bentuk maksiat, baik yang terang-terangan maupun yang tersembunyi. Kuncinya adalah menanamkan dalam diri rasa takut kepada Allah (khaufullah) dan menyadari bahwa Allah senantiasa mengawasi kita. Tidak ada satu pun perbuatan kita yang luput dari pengawasan-Nya. Setiap anggota tubuh kita—mata, telinga, tangan, kaki—kelak akan menjadi saksi atas perbuatan yang kita lakukan, membongkar rahasia yang selama ini kita sembunyikan.
Mari kita renungkan: apakah kita ingin menjadi golongan yang datang di hari kiamat membawa gunung kebaikan, namun seketika musnah? Atau kita ingin menjadi hamba yang ikhlas, yang ketaatannya tak lekang oleh sepi, yang di hadapan Allah dan manusia adalah sama? Marilah kita perbaiki diri, perkuat benteng iman, dan tanamkan keyakinan bahwa Allah Maha Melihat.
Semoga kita semua dijauhkan dari kemunafikan dan selalu dalam lindungan-Nya, sehingga amal kebaikan kita menjadi bekal yang abadi. Adakah di antara kita yang masih merasa aman ketika bermaksiat dalam kesendirian?
Posting Komentar