Mengurai Makna Kekayaan yang Abadi di Hadapan Ilahi
Sahabat-sahabatku yang baik, dalam pusaran kehidupan modern yang serba cepat ini, kita seringkali terlena mengejar gemerlap dunia. Kita berjuang keras mengumpulkan kekayaan, membangun rumah megah, dan membeli segala bentuk kemewahan. Seolah-olah, harta benda duniawi ini adalah segalanya, padahal ada hakikat harta yang sesungguhnya yang sering luput dari pandangan kita. Adakah Anda tahu, sebenarnya harta kita yang hakiki itu hanya ada tiga? Mari kita selami makna mendalam ini.
Hakikat harta ini dijelaskan dalam sebuah hadis Nabi Muhammad SAW yang sangat relevan. Dari Abdullah bin Asy-Syikhkhir Radhiyallahu Anhu, ia berkata: "Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sedang membaca: ‘Alhakumut takatsur’ (bermegah-megahan telah melalaikan kalian). Beliau bersabda: ‘Anak Adam berkata: Hartaku, hartaku. Padahal tiada dari hartamu kecuali tiga: apa yang kau makan lalu habis, apa yang kau pakai lalu usang, atau apa yang kau sedekahkan lalu ia kekal (pahalanya). Selain dari itu, ia akan pergi dan kau tinggalkan untuk manusia (ahli waris).’" (HR. Muslim). Hadis ini menjadi landasan utama bagi kita untuk memahami tiga jenis harta yang sebenarnya.
1. Harta yang Kita Makan: Sebuah Kenikmatan Fana.
Harta pertama yang benar-benar menjadi milik kita adalah makanan yang kita konsumsi. Kita makan untuk mendapatkan energi dan kekuatan, namun pada akhirnya, makanan itu akan dicerna dan manfaat fisiknya akan sirna seiring berjalannya waktu. Rasulullah SAW mengingatkan bahwa kenikmatan ini bersifat sementara. Oleh karena itu, Allah SWT dalam Q.S. Al-Baqarah: 168 berfirman, "Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal lagi baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu." Ayat ini menekankan pentingnya menjaga kehalalan dan kualitas makanan, bukan hanya kuantitasnya. Harta jenis ini memang tidak kita bawa ke akhirat, tetapi memengaruhi kesehatan dan kualitas hidup kita di dunia.
2. Harta yang Kita Kenakan: Simbol yang akan Usang.
Jenis harta kedua yang secara hakiki menjadi milik kita adalah pakaian dan barang-barang yang kita kenakan. Pakaian memberikan perlindungan dan kenyamanan, namun seiring waktu, ia akan usang, rusak, dan tidak lagi kita gunakan. Ini adalah pengingat bahwa segala yang kita beli dan pakai hanyalah sementara, nilainya akan berkurang dan menghilang. Rasulullah SAW sendiri dikenal dengan kesederhanaan dalam berpakaian, meskipun beliau mampu memiliki yang lebih mewah. Beliau bersabda, "Sederhanalah dalam berpakaian, karena yang demikian itu termasuk bagian dari keimanan." (HR. Abu Dawud). Sederhana bukan berarti kumuh, melainkan bersih, menutup aurat, dan tidak berlebihan untuk pamer. Harta ini tidak kekal, hanya sebuah titipan yang akan kehilangan kegunaannya.
3. Harta yang Kita Berikan (Sedekah): Investasi Abadi.
Inilah harta ketiga, dan yang paling bernilai di mata Islam: harta yang kita sedekahkan atau berikan kepada orang lain. Inilah satu-satunya harta yang akan kita kumpulkan dan membawa manfaat abadi hingga akhirat. Rasulullah SAW mengajarkan bahwa harta yang disedekahkan tidak akan pernah sirna, berbeda dengan dua jenis harta sebelumnya. Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah: 261: "Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir; pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (balasan) bagi siapa yang Dia kehendaki." Contoh nyatanya adalah seseorang yang membangun sumur wakaf di desa terpencil. Air yang terus mengalir dari sumur tersebut akan menjadi pahala jariyah baginya, bahkan setelah ia meninggal dunia.
Mengapa Harta Selain Itu Tidak Berarti? Sebuah Refleksi.
Harta selain tiga hal di atas—rumah mewah, tabungan miliaran, kendaraan mahal—sesungguhnya hanyalah hak pakai, bukan hak milik selamanya. Mengapa? Karena sewaktu-waktu bisa hilang, rusak, atau terkena musibah. Ingatlah perkataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu: "Semua orang di dunia ini adalah tamu, sedangkan harta seluruhnya adalah titipan. Semua tamu pasti pergi sedangkan barang titipan itu harus dikembalikan kepada pemilik." (Az-Zuhd karya Imam Ahmad no. 906). Kita tidak memiliki apa pun secara mutlak, semuanya adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.
Maka, tidak ada yang patut kita banggakan apalagi kita sombongkan.
Katw kuncinya di sini bagaimana kita bijak mengelola titipan Ilahi.
Hadis dan ayat-ayat Al-Qur'an sesungguhnya mengajarkan kita untuk merenungi makna sesungguhnya dari kekayaan. Harta yang kita makan dan kenakan hanyalah sementara, pudar bersama waktu. Namun, harta yang kita sedekahkan adalah bekal abadi kita di akhirat, sebuah investasi tak terbatas yang akan terus berbuah pahala.
Dengan memahami hakikat ini, semoga kita bisa lebih bijak dalam mengelola setiap rezeki yang Allah berikan. Jangan sampai kita tertipu oleh gemerlapnya dunia dan melupakan bahwa harta sejati adalah yang mendekatkan diri kita kepada keridaan Allah SWT. Sudahkah kita berinvestasi untuk keabadian?
Medio, Juli 2025
Posting Komentar