The True Story of Muhammad and Khadijah’s Beloved Daughter Fathimah
By: Muhammad Amin
1. Fathimah sebagai Ummu abiha (Ibu dari ayahnya)
Jazirah
Arab adalah wilayah tandus. Kebiadaban dan hunusan pedang lebih
diutamakan daripada menjalani hidup damai dengan suku lain. Debu-debu
pasir panas senantiasa menampar nampar mengeringkan wajah, udara panas
mendidihkan kepala, kadang kemarahan tak terbendung lagi.Itulah gambaran
peradaban Arab jauh hari sebelum Nabi diutus ke tengah-tengah umat.
Allah
mengutus Muhammad saw sebagai pemberi peringatan bagi seisi dunia dan
sebagai pengemban amanah wahyu-Nya. Sedang penduduk Arab mengikuti agama
yang paling buruk dan bertimbun diantara batu-batu kasar dan ular-ular
berbisa. Meminum air kotor dan makan makanan najis. Saling menumpahkan
darah dan tidak mempedulikan kekerabatan. Berhala-berhala terpajang di
antara kalian dan dosa melekat dalam diri mereka.
Fathimah
mendukung ayahnya melawan penindasan dan penderitaan demi perjuangan
menumbuh suburkan Islam di muka bumi. Dengan sikapnya yang bersahaja,
Fathimah berusaha menerjemahkan simpatinya kepada Rasulullah dengan
memperlakukan beliau sebagai majikan dan sebagai seorang ibu. Nabi
sering menyebut Fathimah sebagai Ummu-abiha (ibu dari ayahnya)
Fathimah
selalu berdiri di samping ayahnya setegar batu karang ketika penguasa
jahiliyah melakukan kekerasan fisik, tindakan intimidasi, pelecehan dan
penghinaan terhadap Nabi dan pengikutnya.
Fathimah
adalah sosok perempuan tegar. Dia berjuang bersama ayahnya untuk
menanamkan bibit Islam di muka bumi. Dia berjuang bersama suaminya untuk
menyuburkan pohon Islam yang baru tumbuh dengan air mata dan darah suci
mereka. Bagai seorang ibu yang hendak melepas anaknya untuk sebuah
perjalanan panjang yang penuh dengan bahaya, atau ibarat induk merpati
yang gelisah akan keselamatan anak-anaknya dari incaran elang yang
setiap saat mengintainya.
Pernah
ketika ayahnya sedang bersujud sendirian di masjid, tiba-tiba beliau
dilempari usus kambing oleh musuh-musuhnya. Fathimah yang saat itu masih
kecil, menangis melihat hal itu, dan segera berlari menghampiri
ayahnya, lalu membuang usus itu jauh-jauh, membersihkan kepala dan
wajah ayahnya, kemudian menggandeng ayahnya pulang
.
Fathimah,
putri yang berbakti ini menyerahkan seluruh aktifitasnya untuk membantu
perjuangan Sang ayah. Tak ada keluhan yang terucap, tak ada ketakutan
yang terbayang dari parasnya. Tak ada rasa lelah ketika melewati
hari-hari panjang untuk menyempurnakan perjuangan mencerahkan masyarakat
yang tidak tahu diri itu. Semua momentum itu ditatapnya dengan ikhlas.
Sepanjang sejarah para Nabi, hanya Nabi Muhammad saw yang di dampingi
seorang anak perempuannya.
Fathimah
mampu memaknai hidup dengan sempurna. Beliau tak pernah meragukan kabar
gembira yang dijanjikan ayahnya. Jika derita hatinya bertambah berat
dan nafasnya sesak karena terlalu banyak menangis, batin Fathimah
nelangsa menanggung derita. Sehingga dia tak sabar lagi menunggu saat
yang dijanjikan ayahnya.” Bergembiralah putriku, engkaulah orang pertama dari keluargaku yang akan menyusulku.”
Fathimah
satu aura dengan perempuan-perempuan yang namanya tercatat dengan tinta
emas dalam teks suci agama; Khadijah ibunya, Maryam ibu Nabi Isa, dan
Asiah istri Firaun yang menyelamatkan Nabi Musa dari kekejaman suaminya.
Posting Komentar